Pengabaian Potensi Kemanusiaan

Pengabaian Potensi Kemanusiaan

Oleh: Dr. K. Abdul Wahab Saleem, S.Sos.I., M.S.I.
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unisnu Jepara


“Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Qs. Al-A’raf: 206)

 

Ayat ini membicarakan banyak hal, antara lain mengenai potensi-potensi dasar manusia serta penggunaannya. Pemahaman sederhananya, bahwa neraka Jahannam diciptakan untuk kebanyakan jin dan manusia, mereka memiliki hati (akal) tetapi tidak digunakan untuk berfikir dan memahami ayat-ayat Allah, baik ayat qauliyyah, kauniyyah, maupun insaniyyah. Kata “yafqahuna” seakar dengan kata “al-fiqh” yang sering dimaknai mengetahui sesuatu dan memahaminya. Pemahaman dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada pemahaman lahiriah saja tetapi sampai pada pemahaman batin atau substansi, sehingga al-Hakim al-Turmudzi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rasyid Ridha menuturkan bahwa orang yang hanya memahami sesuatu dari sisi luarnya (dzahir) saja, maka ia belum pantas disebut sebagai “faqih”. Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa kata “al-fiqh” merujuk pada jenis pemahaman yang spesifik yaitu pemahaman mendalam mengenai sesuatu (di atas “ilmu”). Pemahaman mendalam tersebut berimplikasi pada produktifitas dan kemanfaatan, begitu tulis Rasyid Ridha.

            Kemudian, di antara mereka yang menghuni jahannam adalah yang memiliki mata tetapi tidak untuk mengobservasi, berfikir, dan meneliti apa saja yang menjadi tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Kata “yubshiruna” (dari kata dasar “bashara”) tidak hanya terbatas pada penglihatan mata (ru’yah), tetapi lebih dalam dari itu, yaitu menggunakan penglihatan batin, penglihatan observasi dan analisis. Inilah mnegapa salah satu potensi dasar manusia adalah dianugerahi “bashirah” yang berfunsi untuk memandang sesuatu dengan pandangan yang lebih dalam, observatif dan analitis, karena “pandangan” mata lahir seringkali masih “menipu” dan tidak objektif.

Selanjutnya, penghuni jahannam adalah mereka yang memiliki telinga tetapi tidak untuk mendengar. Mendengar di sini berarti menyimak ayat-ayat Allah yang dinuzulkan kepada para utusan-Nya. Sebenarnya, Ayat-ayat Allah itu meliputi ayat qauliyyah (teologis), kauniyyah (kosmos) dan insaniyyah (kosmis) yang semuanya harus disimak secara integral dan tuntas, sehingga pemahaman dan laku keagamaan menjadi holistik, menyembah Tuhan harus bebrbanding lurus dengan memanusiakan manusia dan menjaga alam dan lingkungan. Termasuk ayat Allah yang musti disimak adalah perjalanan sejarah peradaban bagaimana telah diatur sedemikian rupa oleh pemilik jagad raya ini dengan penuh keseimbangan, keteraturan dan kemaslahatan.

Dengan memahami secara mendalam, melihat secara observatif, menyimak secara seksama, semua orang dapat mengambil petunjuk Allah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa’adah al-darain), sebab, siapapun yang telah dianugerahi potensi hati, mata dan telinga tetapi tidak digunakan untuk memahami, melihat dan mendengar maka meraka dianggap seperti binatang bahkan lebih sesat dari itu. Binatang meski tidak bisa berfikir, tetapi dengan “perasaan” yang dimiliki minimal ia bisa menyelamatkan diri dari hal-hal yang mungkin membahayakan. Imam Ibn Katsir bahkan menjelaskan bahwa binatang meskipun tidak berpikir tetapi ia terkadang masih mau menaati perintah atau larangan sang penggembalanya. Berbeda dengan manusia yang tidak menggunakan potensi dasarnya, ia akan kehilangan sisi kemanusiaan, ia kehilangan kepatuhan, tidak sanggup menyelamatkan diri bahkan ia cenderung menyusuri jalan-jalan bahaya, bahaya di dunia maupun bahaya yang konsekuensinya di akhirat, tidak sedikit pula yang  kehilangan “rasa”,  tega dengan siapapun demi untuk memenuhi nafsu, keserakahan dan kesenangannya.

            Majelis-majelis ilmu, majelis-majelis muhasabah, perkumpulan-perkumpulan positif merupakan wahana strategis dan ideal dalam mengelola proses “yafqahu”, “yubshiru”, dan “yasma’u”. majelis-majelis tersebut jangan sampai hanya sebatas berbicara ilmu dan intelektualits, tetapi juga harus pula mentransinternalisasikan nilai, aksi dan spiritualitas, tafaqquh fiddin harus sinergi dengan tamassuk biddin, sehingga kemaslahatan substansial akan kita temukan dan wujudkan. Apalagi saat ini kita menghadapi peradaban yang sering disebut sebgai peradaban “pascamaterial” yang dikhawatirkan bahwa “agama” tidak lagi penting, karena dengan keterpenuhan materi dan kemajuan teknologi, ukuran kenikmatan dan kebahagiaan seringkali mengabaikan kemanusiaan, nilai-nilai dan tuntunan agama bukan lagi menjadi pedoman hidup. Wallahu A’lam bi as-shawab.

Komentar



Berita Sejenis