Pendangkalan Pemahaman Agama

Ahmad Slamet

Benarkah lulusan madrasah sebelum tahun 1975 lebih berbobot pemahaman keagamaannya dibanding lulusan tahun-tahun sekarang? Lulusan madraasah dahulu, kata KH. Ma’ruf Amin, lebih bisa diandalkan. Apa maksudnya? Melalui SKB tiga menteri tahun 1975, kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan islam seperti Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah tsanawiyah (MTs) banyak mengalami perubahan. SKB itu menetapkan, kurikulum madrasah harus bermuatan 70 persen pengetahuan umum dan 30 persen pengetahuan agama. Dengan perkataan lain, madrasah memperoleh lebih banyak ilmu-ilmu umum. Akibatnya, madrasah yang sebelumnya dikenal memiliki spesialisasi dibidang pendidikan agama mengalami reduksi. Madrasah tak ubahnya sekolah umum. Karena itu tak berlebihan jika ada yang berpendapat telah terjadi pendangkalan pemahaman agama di madrasah dampaknya di perguruan tinggi.

KH. Ma’ruf Amin, ulama yang baru ditunjuk ketua Tim Penanggulangan Terorisme Departemen Agama yang menyebutkan, melalui SKB itu program tsanawiyah dan aliyah masuk ke pesantren-pesantren di Indonesia. Program ini, secara tidak langsung, sebenarnya telah mengurangi porsi pelajaran agama di pesantren-pesantren.

Sebelum ada SKB, papar Ma’ruf, lulusan madrasah produk pesantren (bukan produk Depag) bisa diandalkan ketika mereka terjun ke tengah-tengah masyarakat. ”Lulusan tsanawiyah saja bisa menguasai agama islam lebih dalam dibanding dengan tsanawiyah produk Depag,” ujarnya.

Menurut kiai Ma’ruf pemahaman keagamaan lulusan madrasah produk Depag (SKB) setengah-setengah. Artinya pemahaman keagamaan kurang mendalam. Sebaliknya, mereka lebih piawai mengurusi birokrasinya. Dengan kata lain, lulusan madrasah produk SKB itu lebih pas menjadi pegawai ketimbang menjadi ulama.

Memang, di era Orde Baru itu, lanjut Ma’ruf, ada kesan pemerintah memaksa pondok pesantren untuk membuka MTs atau MA. Tentu saja langkah ini kurang tepat. Sebab, saat itu pesantren memang menjadi basis untuk mendalami keagamaan. ”Para santri keluar dari pesantren diharapkan menjadi orang yang pandai birokrasi,” tandasnya.

Hal senada dikatakan M. Lutfie Hakim, SH. Pengacara yang dekat dengan aktivis islam ini menyebutkan, ia memang pernah mengkhawatirkan kurikulum pendidikan di madrasah, pesantren, dan bahkan kurikulum di perguruan-perguruan tinggi islam. Menurutnya, hasil pendidikan dari kurikulum itu tidak memberikan kontribusi yang kuat pada perkembangan keagamaan para peserta didik. ”Pendidikan hanya sebatas keilmuan yang kadang bertubrukan secara diametral dengan islam sebagai din atau agama,” ungkap Lutfie.

Produk kurikulum pendidikan yang semacam ini, kata Lutfie, menyebabkan lulusan madrasah gampang disusupi pemahaman-pemahaman yan menyimpang. Mereka, misalnya, mudah dicekoki pemahaman islam liberal, komunisme, atau paham berhaluan kiri lainnya. Bahkan mereka dengan mudah meledakkan diri atau membunuh orang dengan dalih jihad.

”Pemikiran-pemikiran seperti islam liberal lahir dari produk pendidikan formal yang seperti itu,” paparnya.

Karena itulah ia menyarankan perlunya reorientasi pendidikan formal islam menuju pada pendidikan islam yang puritan. Islam yang murni. ”penambahan pengetahuan umum kedalam madrasah saya khawatirkan mengakibatkan pendangkalan pemahaman keagamaan yang mengakibatkan mereka mudah goyah, mudah terkooptasi dengan pemikiran-pemikiran radikal, yang seolah-olah berbaju islam puritan, islam yang murni dan islam yang hakiki.”

Namun menurut Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., tidak semua lulusan madrasah diorientasikan menjadi ahli agama. ”Mereka hanya diharapkan menjadi anak bangsa yang beriman, bertaqwa, serta menjadi warga negara yang baik,” paparnya.

Karena itulah kurikulum di madrasah hanya dibutuhkan untuk memuat para siswa/santri menguasai ilmu-ilmu yang memungkinkannya bisa menjadi warga yang baik. Bisa menciptakan masyarakat muslim yang baik.

Sementara itu Ketua Departemen Pendidikan dan Pembinaan Pesantren, Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Al-Haramain, Dr. Idris Abdus Somad, sepakat bahwa pemahaman agama yang dangkal akan melahirkan tindakan yang kurang tepat atau ngawur. Namun demikian ia tak setuju pengaitan madrasah/pesantren dengan tersangka pelaku terorisme. Walau faktanya mereka adalah lulusan madrasah.

Islam sebenarnya tidak membedakan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Semua ilmu bersumber dari agama. Bersumber dari Sang Khaliq, Allah SWT.

Adanya sinyalemen bahwa SKB Tiga Menteri 1975 telah menyebabkan pendangkalan pemahaman keagamaan di kalangan lulusan madrasah, saya kira hal itu hanya kesalaham iterpretasi saja. Saya masih ingat apa yang diutarakan salah seorang pendiri Pondok Modern Gontor, K. Imam Zarkasyi, yaitu mestinya pelajaran agama itu 100 persen dan pelajaran umum 100 persen. Tapi bukan berarti jumlahnya lantas 200 persen.

Jadi, tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama (islam) dan ilmu umum. Sebab ilmu pengetahuan itu bagian esensial dari agama. Ilmu tanpa agama adalah buta, agaam tanpa ilmu adalah lumpuh. Kita ingat, islam pernah mencapai puncak keemasannya pada abad ke-7 hingga pada abad ke-14. pada masa-masa itulah muncul tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Shina, dan Ibn Rusyd. Mereka tidak saja mumpuni dibidang ilmu agama namun juga fasih berbicara ilmi-ilmu non keagamaan.setelah abad ke-14 umat islam mengalami kemunduran hingga sekarang. Mengapa mengalami kemunduran? Ini lantaran para pemimpinnya kurang amanah dalam memerintah. Mereka cenderung lebih mengutamakan kepentingan individu maupun kelompoknya ketimbang kepentingan umat.

Sayangnya, masa-masa keemasan islam itu tidak pernah mampir ke Indonesia. Sebab islam datang kesini pada abad ke-17. Dan, coraknya bersifat fikih sufisti. Bahkan kemudian ada pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Nah, hal-hal semacam ini tentu memberikan kontribusi pada pendangkalan pemikiran di kalangan umat islam Indonesia.

Begitupun dengan pemahaman yang salah terhadap arti jihad. Jihad mereka maknai dengan melakukan bom bunuh diri atau mengebom orang-orang yang dinilai sebagai musuh-musuh islam. Saya kira penafsiran semacam itu sudah menyimpang darri ajaran islam. Mengebom itu tidak termasuk dari bagian jihad.

Karena itulah pendidikan nasional, terlebih pendidikan islam, harus dapat melahirkan sistem pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.

Input INISNU produk dari madrasah, SMA sederajat ketika pemahaman agama dari dasar (MI/SD), menengah (MTs/SMP), dan menengah atas (MA/SMA/SMK) masih kurang aliyas setengah-setengah, dampak di perguruan tinggi pun kurang mampu menguasai ilmu-ilmu agama, demikian juga pemahaman ilmu pengetahuan secara umum. Kunci pembuka ilmu yakni Bahasa Arab untuk agama, Bahasa Inggris ilmu pengetahuan atau bahasa yang lainnya. Jika dalam penguasaan bahasa lemah, pemahaman agamapun lemah, pendangkalan pemahamannya akan semakin berkembang.

Komentar



Berita Sejenis