Media dan Pencerdasan Ummat

Oleh: Abdul Wahab Dosen dan Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UNISNU Jepara

Peradaban saat ini lazim disebut dengan peradaban informasi, bahkan banyak yang mengatakan bahwa, siapa saja yang menguasai informasi, dialah yang menguasai dunia. Hal ini tentu tidak mengada-ada, mengingat bahwa laju informasilah yang sanggup menggerakkan bahkan “menciptakan” opini publik (public opinion), dan opini publik inilah yang kemudian sangat berpotensi menentukan sikap si pemilik opini terhadap sesuatu. Pengaruh media massa terhadap hampir semua dimensi kehidupan sangat luar biasa. Kita bisa merasakan bahwa hampir semua orang menggantungkan diri terhadap media massa untuk mengenali, mengetahui, bahkan melaksanakan dan menilai sesuatu. Sehingga tidak mengagetkan apabila di hampir seluruh dimensi kehidupan manusia, adalah identifikasi, imitasi, bahkan representasi dari “suara” media massa.

Kita tentunya memahami bahwa pengaruh media massa terhadap dimensi-dimensi kehidupan masyarakat begitu “vital”. Baik yang mengarah pada hal-hal positif dan prograssif, maupun sebaliknya, yaitu negatif dan regresif. Sepanjang sejarahnya, media massa –baik cetak maupun elektronik- memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam menentukan perjalanan zaman. Bermula dari media-media tertulis yang kemudian beredar luas dalam “mempengaruhi” opini publik, sampai pada media visual yang justru lebih dahsyat lagi “pengaruhnya”. Kita tentu tidak pernah lupa bahwa peredaran buku Satanic Verses (ayat-ayat setan) telah menjadikan pengarangnya Salman Rushdie begitu mendunia, meski di sisi lain, karena pemikirannya yang kontroversial dan dianggap melecehkan Islam, ia justru harus mendapatkan vonis hukuman mati dari pemerintah Iran. Berbagai revolusi yang terjadi di dunia, misalnya Revolusi Perancis di bawah kontaminasi pemikiran  J.J. Rosseau dan Montesquieu, Revolusi Rusia yang mengkiblat pada pemikiran Karl Marx dan Engels, Revolusi Amerika yang dibimbing oleh “Declaration of Independen”, Nazi Jerman bergerak di bawah buku karya Adolf Hitler “Mein Kamf”. Hingga Revolusi Indonesia yang diawali dari pemikiran-pemikiran tertulis Bung Karno, Muhammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Wahid Hasyim dan sebagainya (Asep: 2010). Dan ternyata semua “gejolak” dan “gerakan” revolusioner tersebut tidak pernah lepas dari gagasan-gagasan cerdas para tokoh dan pelopornya yang juga sekaligus didukung oleh perangkat media –minimal media tulisan dalam bentuk buku maupun “shahifah”- dalam “menggelorakan” gerakan mereka.

Ini artinya, dalam ranah “rekayasa sosial” (social engineering), media massa memiliki andil besar di dalamnya. Sehingga, tugas kita adalah bagimana “mengendalikan” media massa menjadi “santapan” publik yang mencerdaskan, memperadabkan, sekaligus benar-benar menyajikan hal-hal yang dibutuhkan oleh publik sebagai konsumennya. Meminjam istilah yang dipakai oleh Iswandi Syahputra, bahwa ketika masyarakat diniscayakan untuk “melek media”, maka begitu pula sebaliknya, media juga harus “melek sosial”. Nah, hal inilah yang kemudian meniscayakan “reorientasi” cara kerja jurnalistik dalam mengkonstruksi realitas, yang mana pada prinsipnya, proses konstruksi realitas merupakan upaya konseptualisasi sebuah peristiwa dan keadaan. Karena pekerjaan media massa adalah “menceritakan” rangkaian peristiwa, maka seluruh isi media merupakan realitas yang telah mengalami proses konstruksi kembali. Pembuatan berita media massa pada dasarnya adalah penyusunan atau proses konstruksi kumpulan realitas-realitas sehingga menimbulkan wacana yang bermakana (Iswandi: 2006).

Nah, dari kemungkinan-kemungkinan makna inilah yang kemudian membawa pada “persaingan” untuk saling “memperebutkan” realitas untuk dikonstruks sesuai dengan “kepentingan” pihak-pihak yang berkepentingan. Sehingga, dalam kondisi semacam ini upaya untuk mempertegas cara kerja jurnalistik menjadi sangat penting, mengingat bahwa pencarian, pengumpulan, penyeleksian, dan pengolahan informasi –yang tentunya merupakan realitas-yang mengandung nilai berita menjadi karya jurnalistik. Kemudian penyajiannya kepada khalayak melalui media massa periodik juga memerlukan kejelian, keahlian, dan keterampilan jurnalistik tersendiri. Lebih dari itu, penerapan keterampilan jurnalistik harus pula dilandasi oleh prinsip yang mengutamakan kecepatan, ketepatan, kebenaran, kejujuran, keadilan, keseimbangan, dan tidak berprasangka. (Wahyudi: 1996). Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesimpangsiuran antara mana yang termasuk cara kerja jurnalistik dan mana yang bukan cara kerja jurnalistik.

Setiap kerja jurnalistik harus menghasilkan karya jurnalistik yang benar-benar mampu memberikan jawaban terhadap “apa yang dibutuhkan dan diinginkan” oleh khalayak.  Artinya, bahwa aktualisasi nilai berita harus dimunculkan, baik yang menyangkut “nilai penting” maupun “nilai menarik”. Dalam konteks Indonesia, -menurut Wahyudi-, filosofi yang harus diperhatikan dalam mengolah dan menyajikan karya jurnalistik adalah “cepat-tepat-aman”, faktor “aman” menjadi penting mengingat Indonesia sedang dalam proses menuju kematangan demokrasi.

Dari alur pemikiran sebagai mana termaktub di atas, sehingga setiap pihak yang terkait dengan media dan segala urusan yang terkandung di dalamnya memiliki tanggungjawab bersama “memfasilitasi” umat dan media untuk saling “mengingatkan” dan juga saling “mencerdaskan” agar keseimbangan antara keduanya terbangun secara sinergis dan berkeadaban, tetapi pertanyaannya, apakah hal itu telah terwujud saat ini? Atau bahkan terkoyak diombang-ambingkan gelombang “politik” dan “kepentingan”? kita tentu masih bisa berharap akan wujud media yang “mencerdaskan” dan objektif dalam mengkonstruks realitas,

sumber : http://murianews.com/index.php/component/k2/item/5269-media-dan-pencerdasan-ummat

Komentar



Berita Sejenis