Mahasiswa NU dan Pembangunan Karakter Bangsa
Abdul Wahab Saleem
"… apabila pekerjaan kaum intelegensia dahulu lebih banyak merobohkan dari pada membangun --yakni merobohkan Hindia Belanda, maka pekerjaan kaum intelegensia sekarang terletak semata-mata pada segi pembangunan. Membangun Indonesia yang adil dan Indonesia yang makmur, dilakukan dengan rasa tanggungjawab serta keberanian menghadapi segala kesukaran. Pokok kemauan dan keberanian itu terletak pada rasa cinta akan kebenaran dan keadilan, sebagai pembawa orang berilmu dan cinta akan suatu cita-cita besar yang menjadi harapan bangsa”. (Bung Hatta, “Tanggung-jawab Moral Intelegensia,” Hari Alumni Universitas Indonesia I, 11 Juni 1957).
Sekedar Ancang-ancang
Mahasiswa sangat identik dengan sebutan agen perubahan (agent of change). Sebutan ini tentu tidak muncul dari ruang hampa dan sama sekali tidak berlebihan, mengingat sepanjang sejarah perubahan, mahasiswa selalu berada di garda depan yang sangat berperan baik dalam konteks pemikirannya yang brilliant maupun dalam hal semangat “pemberontakannya” yang tak pernah padam. Mahasiswa juga sering disebut-sebut sebagai kaum intelektual, yaitu orang-orang yang memiliki atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik sekaligus tertarik kepada hal-hal rohani (things of mind). Sehingga dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa seorang mahasiswa, disamping harus memiliki kemampuan nalar, juga harus memiliki komitmen terhadap ajaran agama, sehingga selanjutnya mampu mencerminkan diri dalam kemampuannya mengamati, menafsirkan, dan merespon lingkungan hidupnya dengan sifat kreatif, kritis, obyektif, serta analitis, tanpa kehilangan tanggungjawab dan kesadarannya sebagai hamba Tuhan, (tidak hanya “tafaqquh fiddin” tetapi sekaligus “tamassuk biddin”).
Kemampuan nalar dan spiritual inilah yang dimiliki oleh mahasiswa Islam (baca; NU) yang mungkin tidak (belum) dipunyai oleh mahasiswa di luar Islam (NU). Karena dalam konteks pembangunan, mahasiswa NU memiliki watak dasar tersendiri yang terinspirasi dari adagium “al-muhafadzatu ala al-qadim as-shalih, wa al akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, dalam arti bahwa watak dasar gerakan pembangunan mahasiswa NU adalah intergrasi sinergis antara mengubah ke arah yang lebih baik (bersifat transformatif), dan sekaligus mempertahankan serta melestarikan ajaran karena itu merupakan prinsip dan jati diri (bersifat konservatif). Sehingga nilai lebih dari mahasiswa NU sebagai agen perubahan adalah fleksibilitas dan dinamika meraka dalam merespon serta melakukan persentuhan dengan lingkungan hidupnya menuju hal yang lebih maslahah.
Harapan akan Peran Strategis Mahasiswa NU
Mahasiswa NU memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun bahkan “merekayasa” bangsa ini, kerana ruh ke-NU-an selalu seiring dan sejalan dengan ruh kebangsaan. Mahasiswa NU dituntut untuk menampilkan diri sebagai sosok yang memiliki integritas, responsive terhadap dinamika dan perkembangan sekitarnya, sekaligus menampilkan citra keislaman dan ke-NU-annya, mahasiswa NU harus mempu menjadi “uswah hasanah” terutama dalam masalah toleransi, keadilan, kejujuran dan tanggungjawab. Mahasiswa NU dituntut untuk sanggup membuka cakrawala baru yang lebih luas terhadap umatnya, serta mampu membedah kebuntuan-kebuntuan umat seperti eksklusifisme dan fatalisme. Mahasiswa NU juga harus mempu berperan sebagaimana para ulama yang dengan semangat, keikhlasan, dan kesederhanaan, serta keakraban, mereka tak lelah membimbing umat menuju kehidupan yang lebih ideal dan sekaligus menjadi inspirator umat dalam merumuskan aspirasi mereka.
Untuk membangun karakter bangsa, mahasiswa harus terlebih dahulu membangun karakternya, yaitu mahasiswa yang gandrung melakukan senggama intelektual, selalu siap menjadi pelopor dan pembangun peradaban, bukan hanya “bashthatan fil ilmi wa al-jism” tetapi juga memiliki “qalbun salim”, mampu bergerak melakukan perubahan dari yang jumud menjadi cerah, dari yang eksklusif menjadi inklusif, dari keterkekangan menjadi “kebebasan” dan demokrasi. Nah, ketika karakter mahasiswa telah terbangun, baru kemudian membangun karakter bangsanya menuju bangsa yang beradab, berkeadilan, berperikemanusiaan, serta berkemakmuran (aminatan, muthma’innatan, ya’tiha rizquha min kulli makan). Hal ini seirama dengan inspirasi al-Qur’an bahwa Tuhan tidak akan menrubah “apa-apa” yang ada di dalam suatu kaum kecuali kaum itu merubah “apa-apa” yang ada pada “jiwa” mereka.
Mahasiswa NU dan pembangunan karakter bangsa
Penulis pernah mengutarakan di salah satu artikel, bahwasanya Indonesia merupakan Negara yang paling berpotensi menjadi “Madinah” selanjutnya, dan bahkan ada yang menyebut sebagai salah satu kandidat pemimpin peradaban dunia, hal ini tentu ditunjang dengan berbagai alasan. Pertama, Indonesia adalah negeri terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika. Dan tentu saat ini, mungkin satu generasi ke depan, Indonesia memperoleh “bonus” demografi dengan banyaknya penduduk berusia produktif yan akan menggerakkan perekonomian dari sisi produksi dan konsumsi. Kedua, Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik darat maupun laut, yang menjadi modal penting bagi Indonesia untuk membangun dan menyelenggarakan pembangunan di semua sector. Ketiga, Indonesia adalah negeri demokratis terbesar ketiga setelah Amerika, dan India. Dan yang paling istimewa, Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas muslim yang mampu menyandingkan Islam dan demokrasi dalam satu wadah, yaitu wadah NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Mampu mencapai dan menciptakan –meminjam istilah Kholid Syairazi- “sintesis yang tidak mudah” (uneasy synthesis) antara Islam dan nation state. Sintesa kreatif Islam dan demokrasi inilah yang menjadi modal besar mahasiswa NU menuju kebangkitan bangsa dan sekaligus menjadi inspirator pembangunan karakter bangsa. Sehingga yang sangat perlu dipersiapkan adalah penguatan infrastruktur demokrasi dan segala instrumennya, karena demokrasi akan sulit berlaku di tengah masyarakat yang problem utamanya adalah “kemiskinan”. Demokrasi juga akan berhenti sebagai prosedur di tengah masyarakat yang derajat pendidikannya rendah. Dan demokrasi juga akan menjelma sebagai anarki tanpa kaedah moral dan agama.
Sejarah kebangkitan mencatat, bahwa kebangkitan selalu dilandasi oleh antara lain semangat ilmiah oleh para cendekiawan yang berada di pusat-pusat akademik, sehingga semangat ilmiah inilah yang juga harus dibangun dan ditumbuhkan kembali oleh semua kalangan terutama mahasiswa (NU), karena bangsa dan masyarakat tidak akan bangkit dan berkarakter tanpa kecendekiaan umat, kecendekiaan umat juga tidak akan terwujud tanpa kebebasan berpikir dan keterbukaan sikap, dan kebebasan berpikir dan keterbukaan sikap tidak akan terkendali tanpa adanya integritas antara penguasaan iptek, imtaq, dan sekaligus amal shaleh atau bahasa sederhananya harus mengintegrasikan antara posisi sebagai “abdullah” (hamba Allah) dan “khalifatullah” (mandataris Allah). Sementara potensi paling “mungkin” untuk mengintegrasikan ketiganya sekaligus seiring dan sejalan dengan “model” bangsanya adalah “Mahasiswa NU”. Semoga…
Komentar