Kiai Sahal tentang Lokalisasi
Muhammad Nashrul Haqqi
Seorang santri yang dekat dengan Kiai Sahal pernah bercerita bahwa: Kiai Sahal mendukung lokalisasi. Tentang perjudian atau prostitusi misalnya, keduanya memang negatif, namun akan tetap ada dan terjadi sepanjang sejarah manusia itu ada. Karenanya, penyimpangan nilai-nilai keagamaan sekaligus norma sosial-kemasyarakatan semacam itu ada baiknya dikarantina atau diminimalisir, agar tidak menjangkiti populasi yang lebih luas. Hal itu diilustrasikan dengan baik dengan ungkapan: “bahwa setiap rumah tentu harus memiliki WC, sehingga kotoran tidak akan tercecer di mana-mana.”
Persoalannya adalah bagaimana ketika lokalisasi itu terjadi pada dunia pendidikan? yang memiliki konotasi positif. Karena perspektif sederhana —untuk tidak menyebut menyederhanakan— yang dianut dalam menafsirkan tridarma perguruan tinggi adalah: melokalisasi beberapa elemen suatu lembaga pendidikan, sehingga akan berimplikasi pada hasil-hasil dan capaian-capaian yang positif. Dosen umpamanya, dengan lokalisasi, mereka diekspektasikan fokus pada profesi sebagai pendidik dalam mempersiapkan dan menyampaikan materi terbaik kepada mahasiswanya. Dengannya, mereka juga digadang-gadang mampu menjadi peneliti yang tidak tercerabut dari akar-akar problematika masyarakat.
Namun bagaimana jika asumsi itu dibaca dengan hipotesa terbalik: apakah dengan lokalisasi itu desain perkuliahan menjadi lebih baik? apakah peneliti-peneliti sungguhan itu telah melahirkan sajian-sajian berbobot? Dan bagaimana mereka melihat dan mendengar dinamika masyarakat, sementara mereka sendiri tengah berada dalam jeruji lokalisasi? atau apakah kontemplasi dalam bilik-bilik kecil lokalisasi itu telah menjembatani kebutuhan masyarakat?
Menjawabnya memang tidak sederhana. Namun yang perlu diamati adalah basis pemikiran Kiai Sahal pada konteks negatif di atas, di mana: “menghindari sesuatu yang buruk adakalanya lebih baik, ketimbang ekspektasi menciptakan sesuatu baru yang baik.” Sehingga menjadi tidak salah ketika ada perspektif alternatif yang lebih dominan bahwa: dosen jelas bukan sosok berbahaya dan liar yang perlu didisiplinkan, untuk menghindari ekses “negatif” ketika ia menularkan epidemi gagasannya pada dunia luar. Terlebih, pada dasarnya mereka adalah makhluk dinamis yang selalu perlu belajar, saling mengenal dan berjejaring. Persis sebagaimana dikatakan ‘Abdusshamad Palembang yang mengutip Abu Darda’: “Jadilah pendidik sekaligus belajar mendengar dan memahami problem masyarakat secara langsung” (kun ‘aliman aw muta’alliman aw mustami’an) “dan jangan menjadi ilmuan pantai gading, yang hanya mampu mendengar dan melihat masyarakat dengan telinga atau mata tertutup” (wa la takun ar-rabi’a fatahlik). Ungkapan itu bahkan akan begitu kukuh ketika dikomparasi dengan aforisma yang lain, seperti: “berjejaringlah sejauh mungkin di luar sana!!!” (safir/tagharrab ‘an al-awthan), “sehingga dampak positifnya justru akan kembali bagi lembaga kita sendiri” (tajid ‘iwadla).
Seharusnya orang-orang Nusantara mampu belajar dari sejarah, bagaimana lokalisasi menjadi kata kunci kehancuran Mataram Islam ketika Kompeni (VOC) menjadikan wilayah pesisiran utara sebagai kekuatan ekonomi —termasuk memindahkan pelabuhan Jepara ke Semarang— dengan cara memperalat atau mengadu domba elit keraton di kandangnya, “pedalaman,” melalui dalih perdagangan dan perlindungan militer modern. Alih-alih menjadi kerajaan yang melindungi atau menyejahterakan rakyat —yang pada masa kekuasaan Sultan Agung hampir menduduki keseluruhan pulau Jawa—, pemberontakan Untung Suropati, Mas Garendi, Mas Said, Mas Sujana dan Mas Ontowiryo, bahkan Trunojoyo dari Madura justru menjadi bukti kebencian masyarakat terhadap kolonialisme berbalut modernisasi Barat di Nusantara.
Komentar