Jurnal vs Kitab Kuning

Muhammad Nashrul Haqqi

Jurnal, terakreditasi dan internasional, adalah media publikasi temuan intelektual yang tengah begitu digandrungi oleh kalangan peneliti dan akademisi di tanah air. Di Barat, ia baru muncul pada awal abad 17, di mana jauh sebelumnya, dunia muslim telah menghasilkan karya-karya intelektual yang begitu melimpah. Dalam perjalanannya, berbagai lembaga dan institusi yang menjadikan jurnal sebagai corongnya itu, kemudian menetapkan berbagai standarisasi yang begitu renik. Mulai dari spesialisasinya pada disiplin pengetahuan tertentu, aspek metodologi, pengutipan referensi, gaya selingkung, hingga indeksasi dan penetapan ranking. Karena ketatnya seleksi, sebuah tulisan atau buah gagasan, akan menjadi sesuatu yang prestige dan dibanggakan penulisnya, ketika dimuat dan disebarluaskan di dalamnya.

Perlu diakui bahwa kemajuan teknologi intelektual milik Barat memang banyak memiliki nilai positif. Karena seolah tanpa batas, sebuah karya ilmiah di satu belahan dunia dapat diakses di belahan bumi yang lain. Sehingga orisinalitas pendapat di dalamnya dapat diperhatikan, dikritisi, atau diuji kembali oleh peneliti yang lain, tanpa harus memulai penelitian itu dari awal. Sehingga karenanya, plagiarisme dan berbagai kecurangan intelektual yang lain, setidaknya dapat diminimalisir.

Di sisi lain, kecanggihan teknologi itu bukan berarti tanpa cela. Karena untuk membaca jurnal mutakhir tentang kajian tertentu misalnya, jarang sekali –untuk mengatakan tidak ada– yang dapat diperoleh secara utuh sebagai karya intelektual, di mana terdapat keharusan membayar per-artikel dengan jumlah dollar yang tidak sedikit, kecuali untuk melihat abstraknya.

Hal itu tentu berbanding tegak lurus jika dibandingkan dengan kitab-kitab kuning karya anak bangsa, yang kini mulai kurang diminati –untuk dikaji, dianotasi, diteliti dan dikontekstualisasi. Kita tidak perlu terlalu jauh untuk menyampaikan jutaan jilid warisan intelektual muslim timur tengah di berbagai bidang keilmuan, mulai dari sains, astronomi, filsafat, kedokteran, apalagi ekonomi, yang dapat diunduh dengan mudah tanpa biaya. Kita juga tidak perlu terlalu jauh mengurai fakta perampokan Hurgonje (w. 1936) terhadap ribuan naskah, babad, serat dan berbagai warisan kebudayaan-intelektual yang menggambarkan identitas kebangsaan dan keagamaan kita sejak periode Jayabaya (abad 12), yang kini justru menjadi kebanggaan Leiden.

Kita cukup menggambarkan karya-karya Nawawi Banten (w. 1897) misalnya. Dari tiga puluhan karya intelektualnya yang terdeteksi, sebelas di antaranya masih dapat ditemukan dan diunduh dengan mudah di dunia maya. Beberapa di antaranya memang dalam bentuk nuskhah (salinan) tanpa identitas penerbit –seperti al-fusus al-yaqutiyya ‘ala raudlat al-bahiyyah, tanqih al-qaul al-hatsits, syarh ‘uqud al-lujain, qatr al-ghaits fi syarh masa’il abi laits, kasyifatus saja fi syarh safinat an-naja, muraqi al-‘ubudiyya dan nasa’ih al-‘ibad. Namun beberapa yang lain, hingga sekarang, justru masih dicetak ulang oleh beberapa penerbit ternama –seperti nur adz-dzalam syarh mandzumat ‘aqidat al-‘awwam (1936) dan bahjat al-wasa’il bi-syarh masa’il (1930) oleh Mustafa al-Bab al-Halabi wa Awladih di Kairo; serta murah labid li-kasyfi ma’na al-qur’an al-‘adzim (1997), qut al-habib al-gharib (1998) dan nihayat az-zain fi irsyad al-mubtadi’in (2002) oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah yang bermarkas di Beirut. Di toko-toko kitab yang biasanya menyatu dengan pasar tradisional, karya-karya Nawawi itu bahkan mungkin telah sejak lama dibajak oleh penerbit-penerbit lokal, agar dapat memenuhi permintaan para Kiai dan santri yang begitu akrab kitab-kitab Nawawi.

Menariknya, sangat mungkin bahwa Nawawi atau keturunannya sendiri tidak pernah menerima royalti atas karya-karya ilmiahnya itu. Meskipun semuanya berbahasa internasional dan terbit di tingkat internasional. Mungkin akan sulit dibayangkan oleh para akademisi sekarang, bagaimana mungkin seseorang yang alih-alih memiliki ijazah sekolah formal atau jabatan fungsional seperti Nawawi, begitu populer melampaui professor Barat sekalipun.

Sisi menarik lain yang dapat dipastikan dari Kiai Nawawi itu adalah: bahwa beliau jelas bukan seorang plagiator. Mengikuti style dan tipologi tulisan pemikir timur tengah klasik pada umumnya, Nawawi selalu menyebut sumber dan literatur yang dianotasi, berikut menunjukkan marka yang jelas antara pendapat beliau dan pendapat penulis primernya. Dalam pengantar anotasi terhadap Lubab al-Hadis milik Suyuti (w. 1505) misalnya, Nawawi justru berupaya menyelamatkan orisinalitas penulisnya dari tahrif, atau sisi lain plagiarisme dalam bahasa sekarang. Dan yang tidak kalah menarik –jika tidak yang paling penting– untuk digaris bawahi dari jerih-payah atau jihad ilmiah Nawawi itu adalah orientasinya demi kemaslahatan anak-anak bangsanya sendiri, yang sering dibahasakan dengan ahl jawah (orang-orang Nusantara).

Civitas perguruan tinggi berhaluan aswaja tentu tidak hanya akan malu ketika tidak menulis di jurnal-jurnal internasional, namun akan lebih malu lagi ketika tidak mengkaji, atau setidaknya mengenal kecanggihan karya intelektual simbah-simbah kita: seperti KH. Sahal Mahfudz, KH. Ahmad Fauzan, KH. Amin Sholeh dan guru-guru kita yang lain. Dalam pada itu, tokoh-tokoh muda seperti Kiai Wahab Salim –yang tidak hanya kasyf dengan tokoh-tokoh Barat seperti Gadamer (w. 2002), Schleiermacher (w. 1834) dan Dilthey (w. 1911), namun juga fasih dengan pemikiran Raniri (w. 1658) Maqassari (w. 1699) dan Falimbani (w. 1789)– perlu memberi perimbangan terhadap pelatihan-pelatihan menjalankan mendeley atau zotero dengan pelatihan-pelatihan “mengenal” kitab kuning sebagaimana telah diurai. Wallahu a’lam [].

Komentar



Berita Sejenis