Aswaja Annahdliyyah
Dalam ensiklopedi Arab, Ahlussunnah sering didefinisikan sebagai “mereka yang berpegang pada ajaran atau al-t}ari>qah (jalan, aliran) Nabi dan para sahabat, sekaligus membela dan mempertahankannya“. Kemudian terdapat beberapa pengertian terhadap kata aljama>’ah sebagaimana diungakapkan oleh al-Sya>tibi yaitu; al-sawa>d al-a’z}am min al-muslimi>n (mayoritas kaum muslimin), para ulama mujtahid, para sahabat Nabi, kesepakatan orang Islam, dan golongan kaum muslimin dengan satu pemimpin. Sehingga kata aljama>’ah dalam konteks ini lebih berkonotasi pada sebuah pencirian, bahwa mereka menggunakan dalil-dalil syar’iyyah berupa Al-Qur’an, sunnah Rasul, ijma’ dan qiyas serta memandangnya sebagai hal yang sangat prinsip.
Atau dalam bahasa sederhana dapat didefinisikan bahwa ahlussunnah waljama>’ah adalah golongan atau kelompok yang dalam segala aspek kehidupannya baik secara teologis, politis, filosofis dan lainnya mengikuti ajaran dan nilai-nilai yang telah ditransmisikan oleh Nabi dan para sahabat termasuk juga tabi’in dan berusaha sebisa mungkin memelihara kesatuan dan persatuan ummat dengan metode pendekatan yang moderat, inklusif, dan dinamis.
Secara historis, ahlussunnah waljama>’ah (yang kemudian sering disebut aswaja) ini sering diidentikkan dengan sebuah hadits –yang juga masih debatable- yang diriwayatkan oleh imam Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Daud yang menyatakan bahwa Bani Israil akan terpecah menjadi 72 golongan sedangkan ummat Nabi akan terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja yang selamat, kemudian pada waktu itu para sahabat bertanya, siapakah mereka yang selamat itu wahai Rasul?, dan Rasulpun menjawab bahwa mereka adalah “ma> ana alaihi wa as}h}a>bi>“ atau golongan yang mengikuti apa yang dilakukan serta diajarkan oleh Rasul dan sahabatnya.
Artinya, uraian diatas menggambarkan bahwa aswaja telah muncul sejak zaman Rasulullah, akan tetapi dalam sejarah pemikiran Islam terma aswaja ini secara lebih “moncer“ setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944 M) mempresentasikan gagasan “kalam“ mereka yang merupakan antitesis terhadap pemikiran-pemikiran mu’tazilah.
Seputar Aswaja dan NU
Aswaja memiliki corak pemikiran yang spesifik dan unik, dan inilah yang kemudian disinyalir sebagai sebab diterimanya aswaja oleh mayoritas golongan kaum muslimin diseluruh dunia –termasuk NU-.
Di antara corak pemikiran aswaja adalah moderat (al-iqtis}a>d, tawassut}), suatu ciri yang tengah-tengah dan tidak terjebak pada ekstrimisme, menengahi antara pemikiran freewillisme qadariyyah dan fatalisme Jabariyyah, antara ortodoks Salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme Falsafi dan sufisme Salafi.
Sebagai contoh moderasi aswaja adalah muncul dalam persoalan perbuatan sadar manusia. Mu’tazilah memahami bahwa tidak ada campur tangan Tuhan dalam perbuatan manusia, sedangkan fatalis-Jabariyyah justru berpandangan bahwa perbuatan sadar manusia adalah sepenuhnya merupakan campur tangan Tuhan, akan tetapi Asy’ariyyah mengajukan konsep jalan tengah yang lebih popular dengan istilah “kasb”. Dalam konsep ini, menusia memperoleh kekuasaan dari Tuhan untuk berikhtiyar dan mengupayakan sendiri pekerjaannya.
Kemudian corak pemikiran aswaja yang selanjutnya adalah toleransi (al-tasa>muh}), suatu sikap yang sanggup mengapresiasi berbagai macam pemikiran yang berkembang di masyarakat, inklusifitas inilah yang memiliki kemmpuan besar untuk meredam berbagai konflik internal umat.
Dalam diskursus sosial-budaya misalnya, aswaja banyak membuka toleransi –bahkan cenderung mengarahkan- terhadap budaya-budaya yang telah berkembang dimasyarakat. Sehingga tidak mengherankan apabila tradisi kaum sunni kadang berbau kultur syi’ah atau bahkan hinduisme, dan hal ini pulalah yang menjadi sasaran serang yang sangat empuk bagi kelompok-kelompok lain diluar aswaja yang menganggap bahwa penganut aswaja adalah ahli TBC (Tah}ayyul, Bid’ah dan Churafa>t).
Sebagai ciri selanjutnya dari aswaja adalah keseimbangan (al-tawa>zun), pola ini dibangun untuk menciptakan solidaritas sosial dan integritas umat, dan lebih banyak diimplementasikan untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik, meskipun secara umum juga digunakan dalam semua aspek kehidupan.
Sikap tawazun ini sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran al-Ghazali telah berhasil melakukan keseimbangan antara tuntutan-tuntutan kemanusiaan. Yaitu antara tuntutan rasionalitas, intelektualitas, moralitas dan spiritualitas. Tuntutan rasionalitas pada satu sisi mampu melahirkan kemajuan material yang bombastis, akan tetapi disisi lain sering menafikan aspek moral dan spiritual. Begitu pula sebaliknya, atensitas batin yang berlebihan juga dapat memandulkan intelektualitas dan etos kerja.
Nah, Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh para ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya ini menjadikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip aswaja tersebut sebagai paham keagamaan. Dan secara definitif-implementatif nilai-nilai ahlussunnah waljama>’ah ini diformulasikan dengan pengertian bahwa dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Kemudian dalam bidang akidah mengikuti teologi Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Serta dalam bidang tasawuf mengikuti Muhammad al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Atau dalam bahasa sederhana boleh dikatakan bahwa tradisi NU –yang embrionya adalah tradisi pesantren- adalah tradisi paternalisme lokal yang didasari oleh nilai-nilai ahlussunnah waljama>’ah, karena tidak dapat dipungkiri bahwa secara antropologis memang terjadi kecocokan antara keduanya (tradisi lokal dan nilai-nilai aswaja).
Secara historis-politis-teologis tidak bisa disangkal bahwa kelahiran NU sebagaimana yang diungkap oleh antropolog Belanda yang menaruh kekaguman besar terhadap transformasi masyarakat NU yaitu Martin Van Bruinessen adalah bukan hanya sebagai reaksi serangan Islam reformis secara nasional baik Muhammadiyah maupun Serikat Islam (SI), akan tetapi juga merupakan respons atas bangkitnya kekuasaan Islam puritan Wahabi di Makkah secara internasional. Disamping juga sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap kaum penjajah dan dalam ekonomi sebagai representasi kepedulian terhadap perekonomian umat.
Dan kayaknya saat ini NU menghadapi tantangan yang sama, dan tantangna yang paling utama dan mencolok yang dihadapi NU adalah Barat dan Islam radikal, meskipun terdapat persoalan-persoalan lain yang menjadi garapan NU seperti pengawalan terhadap transisi demokrasi dan carut-marut politik serta masalah-masalah keumatan yang lain.
Barat melihat NU sebagai elemen strategis untuk mentransformasi ideologi dan menjadikan NU sebagai target untuk mengakomodasi pemikiran dan kepentingan-kepentingan mereka. Dan salah satu tekanan barat dengan arus globalisasinya adalah memaksa diterapkannya sistem kapitalisasi –yang saat ini sudah cetho welo-welo bisa kita saksikan dampaknya-.
Reaksi NU kepada barat juga berfariasi, ada yang menerima secara berlebihan dan ada juga yang menerima secara hati-hati tetapi juga ada yang menolak. Dari bermacam reaksi yang ditampilkan, sebenarnya memang terdapat implikasi masing-masing, dengan melakukan persentuhan dengan pihak Barat, progressifitas dan dinamika warga Nahdliyyin lebih bisa terlatih dan diharapkan prospek NU kedepan akan lebih cerah. Namun dengan penerimaan terhadap ide-ide Barat secara berlebihan justru menjadi sasaran tembak bagi kelompok diluaar NU untuk menuduh NU sebagai agen Barat, akibatnya seperti kelompok Islam radikal menganggap NU sebagai bagian dari kelompok yang harus diperangi apalagi ketika NU dianggap tidak mendukung formalisasi syari’at Islam. Kemudian yang terjadi setelah NU dianggap agen Barat, liberal dan penurunan kualitas umat telah dimanfaatkan kelompok Islam radikal utuk menarik massa NU kedalam kelompok mereka –sungguh mesakke-.
Sebenarnya dalam merespons segala bentuk tantangan dan ancaman itu, sejak dini NU sudah menyiapkan kaidah yang sangat elegan dan sesuai dengan prinsip aswaja yang moderat, toleran dan tengah-tengah yaitu al-muh}a>faz}ah ala al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhz\u bi al-jadi>d al-as}lah} (menjaga nilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih baik). Akan tetapi dalam implementasinya, kaidah tersebut belum diberlakukan secara professional, proporsional dan maksimal. Kita masih terkesan alergi menerima al-jadi>d al-as}lah} tersebut, terbukti bahwa sebagian warga NU masih ketakutan dalam menerima dan mensikapi nilai pluralitas, inklusifitas, penghargaan HAM, kebebasan berpendapat, keadilan, kesetaraan –termasuk gender-, egalitarianisme dan lain-lain, padahal sebenarnya nilai-nilai tersebut merupakan al-jadi>d al-as}lah} itu.
Sehingga tantangan kita sebagai kader-kader NU yang sunni ini adalah pertama, bagaimana kita bisa keluar dari pengaruh sistem kapitalisme barat sekaligus penyebaran ideologinya, dan kedua, bagaimana kita bisa selamat dari pengaruh radikalisme yang mengatasnamakan Islam, Sehingga kita benar-benar menjadi warga nahdliyyin yang selalu memegang teguh nilai dan prinsip ahlussunnah waljama>’ah yang selalu merepresentasikan Islam Indonesia yang sunni dan pancasilais. Kita harus ingat, Sebagaimana NU dulu lahir, secara ideologis sebagai respon atas ideologi Wahabi, saat inipun tantangan itu sudah didepan mata yang berwujud berbagai ideologi “transnasional” yang sangat mengancam. Kemudian secara ekonomis NU lahir untuk memperkuat ekonomi umat –yang diawali Nahdlatut Tujjar-, saat inipun –gara-gara pengaruh kapitalisme Barat- NU dihadapkan pada problem ekonomi yang sangat berat, terutama di pedesaan yang menjadi akar rumput basis massa NU. Dan juga secara politis NU dulu lahir sebagai reaksi keras terhadap kaum penjajah, saat ini yang menjajah kita adalah virus kapitalisme dan ideologi distruktif barat (bukan yang positif-konstruktif) yang sudah menjangkit dan menjalar di semua lini dan sendi kehidupan –termasuk dunia pendidikan-. Bukan hanya itu, yang menjajah kita saat ini juga “mereka”, para “penguasa” kita sendiri. Sehingga pertanyaanya sekarang adalah sanggupkah kita menghadapi, mensikapi, sekaligus mencari solusi alternative atas semua tantangan itu…??? Walla>hu a’lamu bi as-s}awa>b..(Gus Doel, dari berbagai sumber).
Komentar